Oleh: Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
Bismillahirrahmanirrahim
Bismillahirrahmanirrahim
Secara eksplisit dikemukakan dalam UUD ‘45, bahwa fakir miskin dipelihara negara. Hal ini menunjukkan komitmen para pendiri negara ini untuk selalu memperjuangkan nasib mereka. Mereka adalah anak-anak bangsa juga yang tidak sepantasnya dibiarkan dan ditelantarkan. Jika membiarkannya adalah sama dengan menentang diktum-diktum yang terdapat dalam UUD ’45 tersebut.
Akan tetapi sangat disayangkan, turunan dari UUD ’45 tersebut, seperti undang-undang misalnya, tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan keberpihakan kepada fakir miskin ini, meskipun harus diakui bahwa pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup untuk mengentaskannya. APBN tahun ini saja telah mengalokasikan dana sebesar 60 triliun untuk keperluan pengentasan kemiskinan.
Ketiadaan keberpihakan secara eksplisit inilah mungkin salah satu penyebab mengapa dari tahun ke tahun jumlah orang miskin di negara kita semakin bertambah. Berdasarkan data yang ada, tingkat kemiskinan tahun 2006 mencapai angka 39,5 persen, lebih tinggi daripada angka kemiskinan tahun lalu yang mencapai 35,1 persen. Begitu pula dengan angka pengangguran yang mencapai 11 persen di tahun 2006 ini. Keduanya menjadi indikator betapa bangsa kita masih belum mampu melepaskan diri dari keterpurukan ini.
Berbeda halnya dengan instrumen zakat. Secara jelas, tegas, dan gamblang , bahwa zakat itu ditujukan untuk memberikan kesejahteraan kepada fakir miskin. Disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 60, bahwa golongan yang pertama dan kedua yang berhak menerimanya, adalah golongan fakir dan miskin. Contoh yang lain misalnya, dalam pelaksanaan kewajiban zakat fitrah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikemukakan, bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin, yang bertujuan untuk mensucikan jiwa orang yang berpuasa, dan untuk memberikan makanan pada fakir-miskin.”
Karena itu, diperlukan komitmen kita semua (pemerintah, Badan Amil Zakat, MUI, LSM maupun masyarakat secara lebih luas) untuk mendorong agar instrumen zakat ini semakin dimanfaatkan secara optimal. Zakat disamping dipandang sebagai kewajiban agama (rukun Islam yang ketiga), juga harus dianggap sebagai kebutuhan dan keniscayaan dalam mengangkat harkat dan derajat kaum fakir miskin.
Jika pengelolaan zakat, dilandasi dan dibingkai dengan undang-undang yang tegas yang tidak multi tafsir, dan dilakukan oleh Badan/Lembaga Amil Zakat yang amanah dan profesional, insya Allah kesejahteraan kaum fakir miskin akan semakin bisa ditingkatkan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
0 comments:
Posting Komentar